Sabtu, 20 April 2013

THAHARAH (HADATS)


     Thaharah berdasarkan arti harfiah berarti bersih dan suci, sedangkan berdasarkan pengertian syara`, thaharah berarti mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan najis, khususnya pada saat kita hendak shalat. Lebih jauh lagi, thaharah berarti mensucikan diri dan hati. Thaharah hukumnya wajib bagi setiap mukmin.
Allah swt berfirman,
     “Hai orang yang berselimut. Bangunlah, kemudian berilah peringatan !, dan agungkanlah Tuhanmu. Dan bersihkanlah pakaianmu“. (QS. Al-Muddatstsir : 1-4).
Adapun thaharah daripada najis dapat dilakukan dengan beberapa cara:
  • Istinja, yaitu membasuh dubur dan qubul dari najis (kotoran) dengan menggunakan air yang suci lagi mensucikan atau batu yang suci dan benda-benda lain yang menempati kedudukan air dan batu, yang dilakukan setelah kita buang air.
  • Memercikkan Air, yaitu memercikkan air ke bagian yang terkena najis kecil (mukhaffafah).
  • Mencuci atau membasuh dengan air, yaitu dengan membasuh dengan air yang mengalir sampai pada bagian yang terkena najis sedang (mutawasithah) hilang tanda-tanda kenajisannya.
  • Menyamak,hal ini dilakukan untuk menyucikan diri dari najis berat.
Adapun thaharah daripada hadats dapat dilakukan dengan beberapa cara:
  • Wudhu, yaitu membasuh muka, kedua tangan, kepala dan kedua kaki dengan air, untuk mensucikan diri kita dari hadats kecil.
  • Tayamum, yaitu membasuh muka dan kedua tangan dengan tanah suci sebagai pengganti wudhu jika air tidak ditemukan, untuk mensucikan diri kita dari hadats kecil.
Allah swt berfirmanـ,
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS Al Maidah : 6)
  • Mandi, yaitu mensucikan diri dari hadats besar dengan membasuh secara merata ke seluruh tubuh dengan air.
Istinja’
     Istinja’  yaitu membasuh dubur dan qubul dari najis (kotoran) dengan menggunakan air yang suci lagi mensucikan atau batu yang suci dan benda-benda lain yang menempati kedudukan air dan batu, yang dilakukan setelah kita buang air. Air adalah seutama-utama alat bersuci, karena ia lebih dapat mensucikan tempat keluarnya kotoran yang keluar dari dubur dan qubul, dibandingkan dengan selainnya
Allah swt berfirman,
     “Janganlah kamu sholat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalam masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. at Taubah :108)
     Istinja’ dengan menggunakan batu, kayu, kain dan segala benda yang menempati kedudukannya (yang dapat membersihkan najis yang keluar dari dibur dan qubul) diperbolehkan menurut kebanyakan ulama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam membolehkan istinja’ dengan menggunakan batu dan benda-benda lain yang dapat membersihkan najis yang keluar dari dubur dan qubul. Seseorang dikatakan suci dengan menggunakan batu dan benda lain yang suci apabila telah hilang najis dan basahnya tempat disebabkan najis, dan batu terakhir atau yang selainnya keluar dalam keadaan suci, tidak ada bekas najis bersamanya.
     Beristinja’ dengan menggunakan batu dan selainnya tidaklah mencukupi kecuali dengan menggunakan tiga batu. Salman al Farizi radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang kami dari istinja’ dengan menggunakan tangan kanan atau kurang dari tiga batu.” (HR. Muslim)
Rasulullah saw tidak memperbolehkan seseorang untuk beristinja` dengan menggunakan tulang ataupun suatu benda yang dimuliakan. Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang kami dari istinja’ dengan menggunakan kotoran binatang dan tulang.” (HR. Muslim)

Wudhu
     Wudhu dilakukan untuk menghilangkan hadats kecil ketika kita akan menunaikan shalat. Rasulullah saw menganjurkan ummatnya untuk selalu menjaga dan menyempurnakan wudhu-nya
Wudlu mempunyai keistimewaan, sebagaimana banyak hadits Rasulullah saw, di antaranya:

1. “Dan dari Anas ra, bahwa Rasululloh SAW bersabda:”Dengan perangai yg baik yg terdapat pada seorang laki2, Allah menyempurnakan segala amalnya dan dengan bersucinya untuk mengerjakan sholat, Allah menghapus dosa2nya, hingga bulatlah sholat itu menjadi pahala baginya.” (HR Abu Ya’la, Bazzar, dan Thabrani dalam Al Ausath)

2. “Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasululloh SAW bersabda:”Maukah aku tunjukkan padamu hal2 dengan mana ALLOH menghapuskan dosa2mu serta mengangkat derajatmu?” “Mau ya Rasululloh”,ujar mereka. “Menyempurnakan wudlu menghadapi segala kesusahan, dan sering melangkah mengunjungi masjid, serta menunggu sholat demi sholat. Nah, itulah dia perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan!” (HR Malik, Muslim, Turmudzi, dan Nasai)

Pembagian Jenis Najis
Najis terbagi menjadi tiga yaitu:

1. Najis Mukhaffafah:
     Najis yang ringan yaitu air seni anak lak -laki di bawah umur dua tahun yang belum makan makanan kecuali air susu ibunya saja. Cara menyucikannya cukup dengan dipercikkan air saja pada bagian yang terkena najis tersebut.

2. Najis Mughallazah:
     Najis yang berat yaitu anjing, babi dan keturinan kedua-duanya. Jika seseorang terkena anggota binatang tersebut dalam keadaan basah wajib disucikan dengan disamak. Cara menyucikannya ialah dengan dicuci tujuh kali dengan air mutlak dan salah satunya hendaklah dengan air tanah.

3. Najis Mutawassitah:
     Najis pertengahan yaitu selain najis mukhaffafah dan najis mughallazah. Cara menyucikannya jika ada ain, hendaklah dihilangkan ainnya itu dan segala sifatnya yaitu rasanya, baunya dan warnanya. Jika setelah dicuci didapati masih tidak hilang rasanya seperti kesat, hendaklah dicuci lagi hingga hilang rasa itu. Setelah itu jika tidak hilang juga, ia dimaafkan. Jika bau atau wama najis itu masih tidak hilang setelah dicuci dan digosok tiga kali, hukumnya adalah dimaafkan. Jika najis itu sudah tidak ada lagi ainnya dan tidak ada lagi sifatnya seperti air kencing yang sudah kering pada kain dan hilang sifatnya, cukuplah dengan dicucuri air pada tempat yang terkena najis itu (najis hukmi). Arak apabila telah menjadi cuka dengan sendirinya maka hukumnya suci dengan syarat tidak dimasukkan benda lain di dalam tempat pemeramannya.

Pembagian Jenis Hadats
Hadats terbagi menjadi dua yaitu:

1. Hadats Kecil (Shughra):
     Hadats yang mengakibatkan seseorang harus berwudhu atau bertayamum untuk menghilangkannya. Adapun hadats shughra disebabkan oleh beberapa hal:
1. Buang Air (baik dari dubur maupun qubul)
2. Buang Angin
3. Hilang Akal sepert Tidur, Pingsan, ataupun Gila.
4. Menyentuh wanita yang bukan muhrim dengan sengaja tanpa ada penghalang.
5. Tersentuh kemaluan (qubul dan dubur) dengan telapak tangan atau jari-jarinya yang tidak memakai tutup (baik miliknya sendiri ataupun orang lain)

2. Hadats Besar (Kubra):
     Hadats yang mengakibatkan seseorang harus mandi untuk menghilangkannya. Adapun yang menyebabkan seseorang harus mandi adalah:

1. Berhubungan kelamin (bersetubuh) walaupun tidak sampai keluar mani (sperma).
2. Mengeluarkan mani (sperma) baik sengaja (onani) ataupun tidak (mimpi).
3. Wanita yang selesai haid.
4. Wanita yang baru melahirkan dan selesai masa nifasnya.
5. Seseorang yang baru masuk Islam.

     Dengan demikian, thaharah merupakan suatu yang sangat istimewa dan yang membedakan seorang mukmin dari kafir, maka hendaknya kita semua selalu menjaga kebersihan dan kesucian diri, pakaian, dan tempat kita, sebagai awal kita mensucikan hati kita. Dan semoga Allah swt meridhoi segala niat dan amal perbuatan kita. Amiin…

RPP


RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Nama Madrasah          : MAN 1 KOTABUMI
Mata Pelajaran            : FIQIH
Kelas / Semester          : X / 1 
Pertemuan ke              : 1
Alokasi                        : 4 x 40’


Standar Kompetensi      : Memiliki pemahaman dan penghayatan yang lebih mendalam terhadap ajaran Islam      tentang thaharah, ibadah, penyelenggaraan jenazah dan konsep muamalah serta mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari

Kompetensi Dasar      : Menjelaskan manfaat dan hikmah bersuci dari najis dan hadats

Indikator                     :
·         Dapat melafalkan dasar hukum bersuci baik dari najis maupun hadats
·         Dapat menyebutkan macam-macam najis dan  hadats
·         Dapat mempraktekkan cara membersihkan najis dan hadats
·         Dapat menyebutkan hikmah bersuci



I.             Materi Ajar                     : Bersuci dari najis dan hadats

II.          Metode Pembelajaran      : - Ceramah
                                                  - Diskusi
                                                  - Demonstrasi

III.       Langkah Pembelajaran   :
A.    Langkah Awal
-          Menyampaikan pokok materi yang akan dibahas
-          Membagi kelompok
B.     Kegiatan Inti
-          Siswa mencari dasar hukum dan berdiskusi tentang bersuci dari najis dan hadats serta manfaat dan hikmahnya yang dibimbing oleh guru.
C.     Kegiatan Akhir
-          Masing-masing kelompok menyampaikan hasil diskusi :
-          Guru memberikan kesimpulan

IV.       Sumber Belajar
·    Al Qur’an dan terjemah
·    Fiqih Sunnah Oleh Sayyid Sabiq
·    Fiqih klas X oleh Depag Jateng
·    Fiqih Madrasah Aliyah oleh PT. Toha Putra
·    Al Mukholasotul Fiqhy oleh Dr. Sholeh bin Fauzan Riyadh

V.          Penilaian
         Tanya Jawab
         sebagai bentuk evaluasi siswa diharapkan menjawab pertanyaan dibawah ini....

1.      Tulislah dasar perintah bersuci !
2.      Sebutkan macam-macam hadats dan najis !
3.      Sebutkan hikmah bersuci !
4.      Praktekkan cara membersihkan hadats dan najis !

Rabu, 17 April 2013

Thaharah (macam-macam air untuk bersuci)

Dalam islam merupakan amalan yang penting karena bersuci merupakan syarat utama untuk melaksanakan suat ibadah atau amalan. Bersuci sendiri merupakan kegiatan untuk membersihkan diri dari hadas dan najis, perintah bersuci dalam alquran terdapat dalam surat Al baqarah ayat: 222
".. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yanng bertaubat dan Ia mencintai orang-orang yang suci (bersih baik dari kotoran jasmani maupun kotoran rohani). Al Baqarah:222
Bersuci sendiri dapat di golongkan menjadi dua yaitu bersuci dari hadats, yang dapat di lakukan dengan wudhu, tayamum atau mandi wajib. yang kedua adalah bersuci dari najis yait dengan menghilangkan kotoran yang ada di badan, pakaian atau tempat. Dalam membahas najis kita tidak akan lepas dari beberapa pengerian dasar berikut yitu : Alat bersuci, macam-macam najis yang perlu di sucikan, kaifat atau cara bersuci, benda yang wajib di suci dan sebab-sebab yang menyebabkan harus bersuci.
Alat Bersuci
Alat utama yang utama dan dapat di gunakan untuk bersuci adalah air, air yang boleh digunakan untuk bersuci boleh bersumber dari berbagai macam sumber seperti : air bersih dari laut, atau yang keluar dari bumi yang belum di pakai.
Berikut adalam pembagian macam-macam air (Rasjid Sulaiman, 1976:29)
  1. Air suci dan menyucikan, Air yang demikian boleh diminum dan sah dipakai untuk menyucikan (pembersihan) benda yang lain, yaitu air yang jatuh dari langit atau terbit dari bumi dan masih tetap (belum berubah) keadaannya seperti: air hujan, air laut, air sumur, air es yang sudah hancur kembali, air embun yang keluar dari mata air. Adapun perubahan air yang terjadi baik pada salah satu sifatnya maupun semua sifat-sifatnya (warna, rasa dan bau) tetapi air itu masih dapat di gunakan untuk bersuci adalah perubahan yang disebabkan karena: (a). tempatnya, seperti air yang tergenanga atau mengalir di batu belerang (b). Berubah karena lama terletak seperti air kolam (c) Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya seperti berubah karena ikan atau kiambang (d) Berubah karena tanah yang suci dan berubah karena perubahan yang sukar dipelihara sepeti perubahan oleh daun-daun yang jatuh dekat sumur atau mata air.
  2. Air suci tetapi tidak menyucikan, berarti zatnya suci tetapi tidak sah dipakai untuk menyucikan sesuatu. Termasuk dalam bagian ini ada tiga macam air yaitu: (a). air yang telah berubah salah satu sifatnya dengan sebab bercampur dengan sesuatu benda yang suci selain dari pada perubahan yang terjadi diatas (pada nomor 1), seperti air kopi, air teh dan sebagainya. (b). Air sedikit berarti kurang dari dua qullah (2 qullah= 1,25 X 1,25 X 1,25 Hasta) yang sudah terpakai untuk mengangkat hadas atau menghilangkan najis, sedangkan air tidak berubah sifatnya dan tidak pula bertambah timbangannya (c). Air pohon-pohon atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari tekukan pohon kayu (air nira), air kelapa dan sebagainya.
  3. Air yang bernajis, air yang termasuk bagian ini ada dua macam : (a) sudah berubah salah satu sifatnya dengan najis, air ini tidak harus (tidak boleh) dipakai lagi, baik airnya sedikit ataupun banyak, hukumnya seperti najis. (b) Air bernajis tetapi tidak berubah salah satu sifatnya, air ini kalau sedikit, berarti kurang dari dua qullah, tidak pula harus (boleh) dipakai lagi, malahan hukumnya sama dengan najis. Kalau air ini banyak berarti dua qullah atau lebih hukumnya tetap suci menyucikan.
  4. Air yang makruh dipakai, Yaitu air yang terjemur pada matahari dalam bejana emas atau perak, air ini makruh dipakai untuk badan tetapi tidak untuk pakaian, Terkecuali air yang terjemur ditanah seperti air sawah, air kolam, dan tempat-tempat yang bukan bejana yang mungkin berkarat.
Najis artinya kotor atau kotoran. Dalam istilah Ilmu Fikih, najis berarti: "benda yang di tetapkan oleh hukum agama sebagai sesuatu yang kotor, yang tidak suci,"
Hadats adalah sebuah hukum yang ditujukan pada tubuh seseorang dimana karena hukum tersebut dia tidak boleh mengerjakan shalat.  Dia terbagi menjadi dua: Hadats akbar yaitu hadats yang hanya bisa diangkat dengan mandi junub, dan hadats ashghar yaitu yang cukup diangkat dengan berwudhu atau yang biasa dikenal dengan nama ‘pembatal wudhu’.

Thaharah (Wudhu)

Wudhu adalah bersuci dengan air yang dilakukan dengan cara khusus. Kewajiban berwudhu ditetapkan dengan firman Allah swt., “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”(QS. Al-Ma’idah: 6)
Materi kali ini adalah kelanjutan materi sebelumnya, yang akan membahas mengenai mengusap sepatu, mengusap kaos kaki, dan mengusap pembalut luka tubuh dalam hal berwudhu.
Mengusap Al Khuff
1. Mengusap sepatu dalam berwudhu ditetapkan berdasarkan As Sunnah yang shahih. Hal ini disepakati oleh empat imam mazhab dan mayoritas ulama lain. Di antara hadits yang membahas hal ini adalah:
  • Hadits Al Mughirah bin Syu’bah ra berkata: saya pernah bersama Rasulullah saw yang sedang berwudhu, kemudian segera aku hendak melepas sepatunya. Beliau bersabda: Biarkan (jangan dilepas) karena aku memakainya dalam keadaan suci, kemudian ia mengusapnya”. Muttafaq alaih
  • Hadits Jabir bin Abdullah AL Bajali ra bahwasannya ia kencing kemudian berwudhu dan mengusap sepatunya. Ada yang bertanya kepadanya: kamu lakukan ini? Ia menjawab: Ya. Aku menyaksikan Rasulullah saw buang air kecil, kemudian wudhu dan mengusap sepatunya.
2. Hukumnya
  • Syarat diperbolehkan mengusap sepatu dalam berwudhu adalah:  Memakainya dalam keadaan suci, seperti yang disebutkan dalam hadits Al Mughirah di atas
  • Kedua sepatu itu dalam keadaan suci, sebab jika ada najisnya maka tidak sah shalatnya
  • Menutup sampai ke mata kaki, demikianlah sepatu yang dikenakan dan diusap Rasulullah saw
3. Yang membatalkannya
  • Habisnya masa pengusapan (kecuali menurut Malikiyah yang tidak menghitus batas pengusapan)
  • Melepas salah satu sepatu atau keduanya
  • Wajib mandi karena junub atau sejenisnya. Seperti hadits Shafwan bin Assal yang disebutkan: “Agar tidak melepas sepatu selama tiga hari tiga malam, kecuali karena junub”. HR An Nasa’iy, At Tirmidziy dan Ibnu Huzaimah.
  • Semua yang membatalkan wudhu
Jika sudah selesai masa pengusapan atau terlepasnya sepatu, dan dalam keadaan berwudhu maka ia cukup membasuh kakinya saja. Demikian menurut mazhab Hanafi dan Syafi’iy, karena bersambung dalam berwudhu menurut mereka adalah sunnah. Sedang menurut mazhab Maliki dan Hanbali, wajib mengulang wudhu secara keseluruhan karena bersambung dalam wudhu menurut mereka hukumnya wajib
4. Tempat Pengusapan adalah bagian atas sepatu tanpa ada pembatasan. Seperti dalam hadits Al Mughirah bin Syu’bah wa: “Aku melihat Rasulullah saw mengusap bagian atas sepatunya”. HR Ahmad, Abu Daud dan At Tirmidziy
5. Batas waktu pengusapan, bagi orang yang mukim (tidak bepergian) sehari semalam, dan bagi musafir tiga hari tiga malam, seperti dalam hadits Ali ra: “Rasulullah saw memberikan tiga hari tiga malam bagi musafir dan sehari semalam bagi muqimin, dalam mengusap sepatu. HR Muslim.
Mengusap Aljaura (kaos kaki)
Hukum mengusap kaos kaki ditetapkan dalam As Sunnah. Di antaranya adalah:
  • Hadits Al Mughirah bin Syu’bah: Bahwasannya Rasulullah saw berwudhu dan mengusap dua kaos kaki dan sandalnya”. HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan At Tirmidzi yang mengatakan hadits ini hasan shahih (Hadits Abu Musa Al Asy’ariy yang meriwayatkan seperti teks hadits di atas. HR Ibnu Majah. )
  • Hukum pembolehan mengusap kaos kaki diriwayatkan oleh banyak sahabat, di antaranya adalah: Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Anas bin Malik, Ammar bin Yasir, Bilal, Al Barra’ bin Azib, Abu Umamah, Sahl bin Sa’d, Amr bin Huraits dan Sa’d bin Abi Waqas.
  • Mazhab Hanafi dan Hanbali memperbolehkannya. Sedang mazhab Syafi’iy memperbolehkannya dengan syarat kaos kaki itu dapat dipakai untuk berjalan.
  • Kebolehan mengusap kaos kaki ini hukum-hukumnya seperti yang ada pada hukum mengusap sepatu.
Mengusap Al Jabirah
Al jabirah adalah pembalut tubuh yang terluka. Jika membasuh organ tubuh yang sakit dalam wudhu membahayakan atau sakti, atau terhalang oleh pembalut luka itu, maka pembasuhan itu diganti dengan pengusapan di atas pembalut itu. Hal ini berdasarkan hadits Tsauban ra berkata: Rasulullah saw mengutus satu pasukan sariyah (ekspedisi perang) lalu mereka menghadapi musim dingin. Maka ketika mereka bertemu Nabi Muhammad saw, mereka mengadukan dingin yang menimpanya, dan Rasulullah menyuruhnya mengusap pembalut lukanya dan sepatunya. HR Ahmad, Abu Daud, dan Al Hakim dalam Al Mustadrak, sesuai dengan persyaratan Imam Muslim, dan disetujui oleh Adz Dzhabiy
Mengusap pembalut luka ini batal jika dilepas, atau sembuh lukanya.


Sholat

     Shalat secara bahasa berarti berdo’a. dengan kata lain, shalat secara bahasa mempunyai arti mengagungkan. Sedangkan pengertian shalat menurut syara’ adalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Ucapan di sini adalah bacaan-bacaan al-Qur’an, takbir, tasbih, dan do’a. Sedang yang dimaksud dengan perbuatan adalah gerakan-gerakan dalam shalat misalnya berdiri, ruku’, sujud, duduk, dan gerakan-gerakan lain yang dilakukan dalam shalat.  

Sedangkan menurut Hasbi ash-Shiddieqy shalat yaitu beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah, menurut syarat-syarat yang telah ditentukan.

Yang dimaksudkan shalat dalam penelitian ini adalah tidak hanya sekedar shalat tanpa adanya penghayatan atau berdampak sama sekali dalam kehidupannya, akan tetapi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah shalat fardlu yang didirikan dengan khusyu’ yakni shalat yang nantinya akan berimplikasi terhadap orang yang melaksanakannya. Pengertian shalat yang dimaksudkan  lebih kepada pengertian shalat menurut Ash Shiddieqy  dari ta’rif shalat yang menggambarkan ruhus shalat (jiwa shalat); yaitu berharap kepada Allah dengan sepenuh jiwa, dengan segala khusyu’ dihadapan-Nya dan berikhlas bagi-Nya serta hadir hati dalam berdzikir, berdo’a dan memuji.

Inilah ruh atau jiwa shalat yang benar dan sekali-kali tidak disyari’atkan shalat karena rupanya, tetapi disyari’atkan karena mengingat jiwanya (ruhnya).

Khusyu’ secara bahasa berasal dari kata khasya’a-yakhsya’u-khusyu’an, atau ikhta dan takhasysya’a yang artinya memusatkan penglihatan pada bumi dan memejamkan mata, atau meringankan suara ketika shalat.  Khusyu’ secara bahasa juga bisa diartikan sungguh-sungguh penuh penyerahan dan kebulatan hati; penuh kesadaran hati.  Arti khusyu’ itu lebih dekat dengan khudhu’ yaitu tunduk, dan takhasysyu’ yaitu membuat diri menjadi khusyu’. Khusyu’ ini dapat terjadi baik pada suara, badan maupun penglihatan. Tiga anggota itulah yang menjadi tanda (simbol) kekhusyu’an seseorang dalam shalat.

Khusyu’ menurut istilah syara’ adalah keadaan jiwa yang tenang dan tawadhu’ (rendah hati), yang kemudian pengaruh khusyu’ dihati tadi akan menjadi tampak pada anggota tubuh yang lainnya.  Sedang menurut A. Syafi’i khusyu’ adalah menyengaja, ikhlas dan tunduk lahir dan batin; dengan menyempurnakan keindahan bentuk/sikap lahirnya, serta memenuhinya dengan kehadiran hati, kesadaran dan pengertian (penta’rifan) segala ucapan bentuk/sikap lahir itu.

Jadi secara utuh yang dimaksudkan oleh penyusun dalam judul penelitian ini adalah mengatasi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan psikis sehari-hari seperti masalah rumah tangga, perkawinan, lingkungan kerja, sampai masalah pribadi dengan membiasakan shalat yang dilakukan dengan khusyu’.  Dengan kata lain dalam penelitian ini  akan dibahas tema shalat sebagai mediator untuk mengatasi segala permasalahan manusia sehari-hari yang berhubungan dengan psikis, karena shalat merupakan kewajiban peribadatan (formal) yang paling penting dalam sistem keagamaan Islam.

lingkaran fiqih

  Tak diragukan lagi, mengenal dan mempelajari ilmu syar'i merupakan aktifitas yang sangat agung dan mulia, bahkan dia merupakan salah satu kewajiban yang dibebankan bagi setiap muslim. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
Artinya : "Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim".
            Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan keutamaan ilmu dalam sabdanya :
Artinya : "Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan, maka Dia akan menjadikan orang tersebut "faqih" (faham) terhadap agamanya."
            Oleh karenanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendo'akan secara khusus keponakan beliau – Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhu- untuk dijadikan seorang yang "faqih" terhadap ajaran agama, beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
Artinya : "Ya Allah fahamkan dia (ibnu abbas) tentang agama dan jadikanlah dia alim dalam ilmu tafsir".
            Dan Ulama Islam telah sekata bahwa diantara ilmu yang paling mulia dan paling banyak manfaatnya adalah ilmu fiqih Islam. Kemuliaan dan keagungan disiplin ilmu ini tidak pernah cukup untuk digambarkan hanya dengan kata-kata, karena pembahsannya menyentuh semua lini kehidupan setiap muslim.
            Fiqih merupakan tali penghubung yang menghubungkan antara seorang hamba dengan penciptanya, hal ini tergambar dalam pembahasan, bab ibadah yang didalamnya ada thoharoh, sholat, zakat, puasa dan haji.
            Fiqih Islam juga menjelaskan dengan detail permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan peperangan, jihad dan sebagainya. Dan alangkah baik bagi setiap orang yang ingin memperjuangkan Islam lewat jihad, misalnya untuk mempelajari terlebih dahulu ilmu tentang jihad yang sesuai dengan tuntutan syariat supaya tidak terjadi apa yang dilakukan oleh segelintir orang yang menghiasi tindak terorisme mereka dengan mengatasnamakan jihad, padahal Islam tidak pernah mengajarkan demikian dan jihad pun bersih dari itu semua.
            Dengan fiqih Islam pula seorang muslim diarahkan untuk bisa mencari rizki yang halal dan terhindar dari rizki yang diharamkan oleh aturan agama lewat pembahasan fiqih muamalah.
            Selain itu fiqih juga membahas secara gamblang masalah pernikahan, dimulai sejak proses pra nikah sampai masalah perceraian yang merupakan akhir dari kisah cinta sepasang suami istri. Dan dalam disiplin ilmu ini juga dapat anda lihat sejauh mana perhatian Islam sebagai aturan sempurna
yang datang dari pencipta alam semesta dalam mengatur dan menjaga keseimbangan hidup umat manusia lewat pembahasan jinayat (tindak kriminal), hukum pidana, dan lain-lain.
            Sampai pada hal-hal yang berkenaan dengan makanan disajikan pula dalam disiplin ilmu ini
 Apa yang disebutkan di atas hanyalah gambaran umum materi-materi yang dapat anda dapatkan dalam ilmu fiqih.
            Semoga usaha yang sangat sederhana ini bisa memberikan sedikit saham guna terwujudnya masyarakat Islami yang menjadikan ilmu sebagai pedoman utama dalam menjalani kehidupan dunia yang sesaat ini.