Jumat, 02 Agustus 2013

Lebaran Sebentar Lagi

Tak terasa, sepekan lagi umat Islam di bumi ini akan merayakan Hari Raya Idul Fitri 1431 H. Inilah, hari kemenangan bagi mereka yang berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Semua umat Muslim bersuka cita menyambut datangnya hari raya.

Umat Muslim di berbagai tempat, daerah, dan negara memiliki tradisi masing-masing dalam menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri.  Namun, intinya pada saat hari raya, setiap keluarga bisa berkumpul, saling mengunjungi, dan bersilaturahim, serta saling memaafkan.

Agar Idul Fitri 1431 H benar-benar bermakna, sebaiknya seorang Muslim hendaknya memperhatikan adab berhari raya. Rasulullah SAW telah memberi contoh dan teladan tentang adab berhari raya.

Dalam Kitab Mausuu'atul Aadaab Al-Islaamiyyah, Syekh Abdul Azis bin Fathi As-Sayyid Nada menjelaskan adab berhari raya secara rinci. Lalu apa saja adab yang perlu diperhatikan saat berhari raya?

Pertama
, niat yang benar.
Niat yang benar merupakan dasar dari semua urusan. ''Wajib bagi seorang Muslim menghadirkan niat yang benar dalam segala perkara berkaitan dengan hari raya, seperti berniat ketika keluar rumah untuk shalat demi mengikuti Nabi SAW,'' ungkap Syekh Sayyid Nada.

Kedua, mandi.
Pada hari Idul Fitri hendaknya setiap Muslim mandi. Sehingga, kata Syekh Sayyid Nada, dapat berkumpul bersama kaum Muslimin lainnya dalam keadaan bersih dan wangi. Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, bahwa ia mandi pada hari raya Idul Fitri, sebelum berangkat ke tempat shalat. (HR Malik dalam kitab al-Muwaththa).

Ketiga, memakai wewangian.
Saat akan shalat Idul Fitri, hendaknya setiap Muslim memakai wewangian dan dalam keadaan bersih.

Keempat, memakai pakaian baru.
Menurut Syekh Sayyid Nada, jika seseorang mampu, disunahkan memakai pakaian baru pada hari raya Idul Fitri. Hal itu menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT dan menunjukkan kegembiraan pada hari raya.  Ibnu Umar RA memakai pakaian terbaiknya pada kedua hari raya. (HR Al-Baihaki).

Kelima, mengeluarkan zakat fitrah sebelum melaksanakan shalat.
Sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW, seorang Muslim hendaknya mengeluarkan zakat fitrah sebelum shalat untuk menggembirakan fakir-miskin dan orang yang membutuhkan pada hari Ied tersebut.  Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk mengeluarkan zakat fitrah sebelum orang-orang keluar untuk shalat. (HR Bukhari-Muslim).

Keenam, memakan kurma sebelum berangkat darirumah pada hari raya Idul Fitri.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ath-Thabrani, Rasulullah SAW sebelum berangkat shalat pada hari raya Idul Fitri memakan kurma terlebih dahulu. Dalam riwayat lain disebutkan, Nabi SAW tak berangkat shalat Idul Fitri kecuali setelah makan, sedangkan beliau tidak makan pada hari raya Idul Adha, kecuali setelah pulang dan makan dari hewan kurbannya. (HR at-Tirmidzi)

Ketujuh
, bersegera menuju tempat shalat.
Pada hari raya Idul Fitri, hendaknya setiap Muslim bergegas menuju tempat dilakukannya shalat I'ed.

Kedelapan, keluarnya wanita ke tempat shalat.
Menurut Syekh Sayyid Nada, wanita dianjurkan untuk keluar menuju tempat shalat walaupun sedang haid. Sehingga, mereka dapat menyaksikan dan mendapat kemuliaan hari raya serta merasakan kebahagiaan bersama orang lain.

''Meski begitu, hendaknya wanita yang haid memisahkan diri dari tempat shalat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim, Nabi SAW memerintahkan gadis-gadis pingitan, anak-anak, serta wanita haid untuk keluar, namun wanita haid yang menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Mukminin, hendaklah mereka memisahkan diri dari tempat shalat.

Kesembilan
, anak-anak juga keluar untuk shalat.
Ibnu Abbas RA berkata, ''Aku keluar bersama Nabi SAW pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, kemudian beliau shalat dan berkhutbah…'' (HR Bukhari-Muslim). Menurut Syekh Sayyid Nada, hendaknya anak-anak ikut keluar sehingga mereka ikut merasakan kebahagiaan hari raya, bersenang-senang dengan pakaian baru, keluar ketempat shalat, dan menyaksikan jamaah kaum Muslimin walaupun mereka tidak shalat karena masih kecil.

Kesepuluh, keluar untuk shalat dengan berjalan kaki.
Keluar berjalan kaki untuk shalat termasuk sunah. Sebagaimana Nabi SAW keluar pada dua hari raya dengan berjalan kaki, shalat tanpa azan dan iqamat, dan pulang berjalan kaki melalui jalan lain.  (HR Ibnu Majah). Perbuatan inilah yang disukai selama tak memberatkan orang yang shalat.

Kesebelas, bertakbir denga suara keras sampai ke tempat shalat.
Disunahkan bertasbih mulai dari keluar rumah sampai ke tempat shalat. Hal ini untuk menunjukkan syi'ar Islam.

Keduabelas, bersalaman dan saling mengucapkan selamat di antara orang yang shalat.
Bersalaman  dan saling mengucapkan selamat akan membahagiakan jiwa yang merasa gembira pada hari Ied. Bisa pula sambil mengucapkan, ''Semoga allah menerima amal kami dan amal kalian.''

Ketigabelas
, bersilaturahim.
Menjalin silaturahim wajib pada setiap waktu. Namun, semakin dianjurkan pada saat hari raya Idul Fitri. Sehingga, semua anggota keluarga bisa senang dan bisa merasakan kebesaran hari raya itu.

Keempatbelas, saling bertikar hadiah dan makanan.
Sudah menjadi tradisi, pada hari raya setaip tetangga bertukar makanan dan hidangan. Bahkan, dianjurkan untuk memberikan hadiah bagi mereka yang tak mampu.

Akhirnya, saya pribadi, dan mewakili keluarga, saudara seiman. mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1431 H, mohon maaf lahir dan batin.

Menanti Lailatul Qadar



Salah satu malam dari sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, disebut lailatul-qadar. Kata lail atau lailah, artinya malam hari; dan kata qadar, makna aslinya, ukuran. Tetapi, kata lailatul qadar biasa diterjemahkan oleh para ulama dengan sebutan "malam yang agung" atau "malam yang mulia".
Sebenarnya Islam tidak membenarkan adanya sistem bertapa, namun dalam sepuluh hari terakhir itu, kaum Muslim diizinkan untuk hidup seperti bertapa, yaitu dengan jalan mengurung diri di dalam masjid, dan menjauhi segala urusan duniawi dengan beri'tikaf dimasjid.
Lailatul Qadar merupakan teka-teki Tuhan, kapan turunnya hanya Allah saja yang tahu. Namun Rasulullah memberikan bayangan-bayangan, Lailatul Qadar turun pada bulan Ramadan, terutama pada sepuluh hari terakhir, khususnya malam-malam ganjil.
Sekarang yang menjadi pertanyaan Apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu, atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang masa? benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air, heningnya malam, dan menunduknya pepohonan dan sebagainya)?
Yang pasti dan harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran bahwa, "Ada suatu malam yang bernama Lailat Al-Qadar, dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh berkah, di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan."
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami" (QS Al-Dukhan 3-5)
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan (QS Al-Baqarah185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr l).
Malam tersebut adalah malam mulia. Tidak mudah diketahui betapa besar kemuliannnya. Hal ini disyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu: Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS Al-Qadr 2)
Kalimat ma adraka ( ما ادرك ) tiga belas kali terulang dalam Al-Quran, sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang berkait dengan hari kemudian, seperti: Ma adraka ma yaum al-fashl, dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia. Tiga kali ma adraka sisa dari angka tiga belas itu adalah: Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu? (QS Al-Thariq 2) Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (QS Al-Balad12) Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS Al-Qadr 2)
Pemakaian kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan dengan objek pertanyaan yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat, dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan Al-Quran dalam tiga ayat. Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah dekat waktunya? (QS Al-Ahzab 63) Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat? (QS Al-Syura 17). Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dan dosa)? (QS 'Abasa 3). Dua ayat pertama di atas mempertanyakan dengan ma yudrika menyangkut waktu kedatangan kiamat, sedang ayat ketiga berkaitan dengan kesucian jiwa manusia. Ketiga hal tersebut tidak mungkin diketahui manusia.
Secara gamblang Al-Quran --demikian pula As-Sunnah-- menyatakan bahwa Nabi Saw. tak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, tidak pula mengetahui tentang-perkara yang gaib. Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walau oleh Nabi Saw. sendiri, sedang wa ma adraka, walau berupa pertanyaan namun pada akhirnya Allah Swt. menyampaikannya kepada Nabi Saw. sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau. Demikian perbedaan kedua kalimat tersebut.
Ini berarti bahwa persoalan Lailat Al-Qadar, harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw., karena di sanalah kita dapat memperoleh informasinya.
Kembali kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa arti malam Qadar, dan mengapa malam itu dinamai demikian? Di sini ditemukan berbagai jawaban.
Kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti: 1. Penetapan dan pengaturan. sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun). Al-Quran yang turun pada malam Lailat Al-Qadar, diartikan bahwa pada malam itu Allah Swt. mengatur dan menetapkan khithah dan strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw, guna mengajak manusia kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia baik sebagai individu maupun kelompok. 2. Kemuliaan Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran, serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadar yang berarti mulia ditemukan dalam surat Al-An'am (6: 91) yang berbicara tentang kaum musyrik. 3. Sempit Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr. “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan”. Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara 1ain dalam surat A1-Ra'd (13: 26): Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).
Ketiga arti tersebut pada hakikatnya dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan.
Namun demikian, sebelum kita melanjutkan bahasan tentang Laitat Al-Qadar, maka terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya adakah setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu?
Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran.
Pakar hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda bahwa malam qadar sudah tidak akan datang lagi.
Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Lailat Al-Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan Rasululllah Saw. menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu, secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh Ramadhan.
Memang turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam Lailat Al-Qadar, tetapi itu bukan berarti bahwa ketika itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri.
Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.
Nah, apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi 1ain berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik-material, sedangkan riwayat-riwayat demikian, tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun takkan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat Al-Qadar tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di sana mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya?
Demikian juga dengan Lailat Al-Qadar. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul Saw. menganjurkan sekaligus mempraktikkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa rasulallah SAW ketika datang sepuluh hari di akhir Ramadan “Yasyuddu Mi’zarahu”. atau mengencangkan ikatan kainnya. artinya rasulallah bersungguh-sungguh untuk mencari Lailatul Qadar dengan memperbanyak ibadah.
Maka oleh itu kesiapan jiwa sangat diperlukan di hari sepuluh hari terakhir dibulan Ramadan, apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam kehadirannya menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian.
Sayid Qutub, berkata “Malam yang lebih baik dari seribu bulan. Angka tidak berarti pembatasan, tetapi dimaksudkan adalah banyaknya nilai. Berapa ribuan bulan dan tahun telah berlalu tanpa meninggalkan pengaruh apa-apa, tanpa perubahan, seperti yang ditinggalkan oleh satu malam yang penuh berkah dan kebahagiaan Lailatul Qadar”. (Fi Zilalil Quran, Juz 6, hlm. 3944-3946).
Kapan tepatnya Lailatul Qadar terjadi?
Tidak ada yang tahu. Nabi Muhammad saw. sendiri juga tidak tahu. Namun beliau menganjurkan agar mencari Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan dengan cara iktikaf (diam di masjid). Iktikaf merupakan kebiasaan Nabi Muhammad saw. setiap akhir Ramadan. Rasulullah saw. biasa beriktikaf pada malam-malam sepuluh terakhir bulan Ramadan (21-30). Dalam sebuah hadis disebutkan Rasullalah bersabda “Carilah Lailatul Qadar pada malam-malam terakhir Ramadan itu" (Hadis sahih Bukhari dan Muslim dari Siti Aisyah).
Dalam hadis lain juga disebutkan, setiap orang yang beribadah bertepatan dengan saat Lailatul Qadar disertai keimanan dan harapan mendapat rida Allah SWT, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu (Hadis sahih Bukhari dan Muslim).
Beberapa ulama telah mencoba merumuskan tanda-tanda Lailatul Qadar secara fisik, yaitu pada malam itu suasana tenang hening, pelataran langit hitam kelam dihiasi taburan bintang jernih terang. Tak ada kekacauan, tak ada keributan. Ketika matahari terbit, sinarnya lembut temaram. Marak siang tidak terlalu terik.
Bahkan ada beberapa orang yang konon berhasil menyaksikan proses alam tatkala turun Lailatul Qadar. Pohon-pohon merunduk, aliran air di sungai terhenti, rinai gerimis tertahan di angkasa, dan macam-macam situasi mistis lainnya. Namun semua itu sulit dibuktikan karena sangat bersifat pribadi sekali.
Imam Al Ghazali Rahimullah berpendapat malam berlakunya Lailatul Qadar itu boleh dikenali dengan cara yang berikut: Jika awal Ramadan jatuh pada hari Ahad atau hari Rabu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 29hb Ramadan. Jika awal Ramadan jatuh pada hari Isnin maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 21hb Ramadan. Jika awal Ramadan jatuh pada hari Selasa atau Jumaat maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 27hb Ramadan. Jika awal Ramadan jatuh pada hari Sabtu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 23hb Ramadan.
Beberapa ulama lain berpendapat jika seseorang menemukan Lailatul Qadar, jangan banyak bicara ini-itu. Cukup perbanyaklah doa dan wirid, memohon rahmat dan ampunan Allah SWT, serta beramal saleh kepada sesama manusia, berupa infak, sedekah, beramal jariyah dan berbagai jenis pertolongan yang bermanfaat bagi orang yang membutuhkan.
Para ulama memang berbeda pendapat mengenai jatuhnya lailatul qadar itu. Ada yang menyatakan pada malam ke-27 Ramadhan. Ada pula yang mengatakan pada malam-malam yang ganjil dari mulai tanggal 21 sampai tanggal 29. Dan ada pula yang mengatakan seluruh bulan Ramadhan adalah waktu untuk mendapatkan lailatul qadar itu, sebab kaum Muslim hendaknya beribadat setulusnya sepanjang masa bulan Ramadhan itu dengan tidak membedakan satu hari dan malam daripada hari dan malam yang lain. Dengan demikian, setiap hari pada bulan Ramadhan mempunyai arti yang tidak boleh diabaikan satu hari jua pun. Karena itu pula Allah hanya menyebutkan pada bulan Ramadhan Al-Quran itu diturunkan untuk tidak membedakan satu hari dari yang lainnya.
Ada juga yang berpendapat, di dalam ayat diatas ada menyebut perkataan Lailatul-Qadar sebanyak tiga (3) kali. Huruf Lailatul-Qadar (dalam huruf Al-Quran) mempunyai sembilan (9) huruf. Jika dikalikan 9 x 3 = 27. Jadi Para Ulamak menyatakan Malam Lailatul-Qadar itu adalah pada malam duapuluhtujuh (27) Ramadhan. (Kata ulin niam)
Untuk mendapatkan Malam Lailatul-Qadar kita hendaklah menumpukan berIbadat sesungguhnya pada sepuluh (10) malam terakhir Ramadhan, terutama pada malam-malam ganjil dan pada malam duapuluhtujuh (27) Ramadhan.
Tampaknya bagi kita tidak menjadi persoalan kapan lailatul qadar itu didatangkan, tetapi yang penting adalah menanti kedatangannya pada setiap waktu dan mempersiapkan diri untuk itu. Tetapi kalau kita mengetahui - dengan izin Allah - akan malam lailatul qadar, maka Rasulullah menganjurkan agar kita berdoa. Berdasarkan hadis berikut: “Dari Aisyah r.a., ia berkata; saya bertanya: "Ya Rasulullah bagaimana kalau saya tahu akan malam lailatul qadar itu? Apa yang harus saya ucapkan pada malam itu?" Beliau bersabda: Ucapkanlah: "Allahumma innaka afuwwun tuhibbul afwa fa'fu 'anni" Ya Allah, Engkau adalah maha pengampun, suka mengampuni, maka ampunilah hamba" (HR Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan Ahmad). Mudah mudahan malam mulia itu berkenan mampir menemui kita. Amin yarabbil Alamin. wallahu 'alam.